dakwatuna.com
– London. Berita
ipar Tony Blair yang mengumumkan konversi keyakinannya menjadi Muslim akhir
pekan lalu membuka banyak cerita tentang para mualaf di Inggris. Harian Daily
Mail menurunkan topik tak biasa di halam depan mereka: tentang tren baru
keyakinan di Inggris. Hasil temuan mereka menyebut, ada tren di kalangan
perempuan terpelajar di Inggris — sebagian besar adalah wanita karier — yang
memilih Islam sebagai keyakinan baru mereka.
Ipar Tony
Blair, Lauren Booth, 43 tahun, mengatakan dia sekarang memakai jilbab yang
menutupi kepala setiap kali meninggalkan rumah. Ia juga mengaku melakukan
shalat lima kali sehari dan mengunjungi masjid setempat kapanpun dia bisa.
Lauren
berprofesi sebagai wartawan dan penyiar televisi. Dia memutuskan untuk menjadi
seorang Muslim enam minggu lalu setelah mengunjungi tempat suci Fatima
al-Masumeh di kota Qom. “Ini adalah Selasa malam, dan saya duduk dan merasa ini
suntikan morfin spiritual, hanya kebahagiaan mutlak dan sukacita,” ujarnya.
Sebelum
pergi ke Iran, ia mengaku telah tertarik pada Islam dan telah menghabiskan
banyak waktu untuk bekerja sebagai wartawan di Palestina. “Saya selalu terkesan
dengan kekuatan dan kenyamanan berada di tengah-tengah Muslimin,” katanya.
Menurut
Kevin Brice dari Swansea University, yang memiliki spesialisasi dalam
mempelajari konversi keyakinan, menyatakan gelombang para wanita terpelajar
Inggris yang beralih keyakinan menjadi Muslim merupakan bagian dari tren
menarik.
“Mereka
mencari inti spiritualitas, arti yang lebih tinggi, dan cenderung untuk
berpikir secara mendalam sebelum memutuskan. Namun dalam konteks ini, saya
menyebutnya fsebagai fenomena “mengkonversi kenyamanan”. Mereka akan menganggap
agama adalah alat menyenangkan suami Muslim mereka dan keluarganya, tapi tidak
akan selalu menghadiri masjid, berdoa, dan berpuasa,” ujarnya.
Benarkah
demikian? Kristiane Backer, wanita 43 tahun dan mantan VJ MTV yang menjadi ikon
kehidupan Barat liberal yang dirindukan remaja saat mudanya, menggeleng.
“Masyarakat permisif yang saya dambakan ketika muda dulu ternyata sangat
dangkal, tak memberi ketenteraman batin apapun,” ujarnya.
Titik
balik untuk Kristiane muncul ketika dia bertemu mantan pemain kriket Pakistan
dan seorang Muslim, Imran Khan pada tahun 1992. Dia membawanya ke Pakistan. Di
negara kekasihnya itu, dia segera tersentuh oleh spirtualitas dan kehangatan
dari orang-orang Islam di negara itu.
“Meskipun
kemudian hubungan asmara saya dengan Imran Khan kandas, semangat saya
mempelajari Islam tak turut kandas. Saya mulai mempelajari Islam dan akhirnya
menjadi mualaf,” ujarnya.
Menurutnya,
Islam adalah agama bervisi. “Di Barat, kami menekankan untuk alasan yang
dangkal, seperti apa pakaian untuk dipakai. Dalam Islam, semua orang bergerak
ke tujuan yang lebih tinggi. Semuanya dilakukan untuk menyenangkan Tuhan. Itu
adalah sistem nilai yang berbeda,” tambahnya.
Untuk
sejumlah besar wanita, kontak pertama mereka dengan Islam berasal dari kencan
pacar Muslimnya. Lynne Ali, 31, dari Dagenham di Essex, mengakuinya. Di masa
lalu, hidupnya hanyalah pesta. “Aku akan pergi keluar dan mabuk dengan
teman-teman, memakai pakaian ketat dan mengerling siapapun lelaki yang ingin
aku kencani,” ujarnya.
Di
sela-sela pekerjaannya sebagai DJ sebuah kelab malam papan atas London, ia
menyempatkan ke gereja. Tetapi ketika ia bertemu pacarnya, Zahid, di
universitas, sesuatu yang dramatis terjadi.”Dia mulai berbicara kepadaku
tentang Islam, dan itu seolah-olah segala sesuatu dalam hidupku dipasang ke tempatnya.
Aku pikir, di bawah itu semua, aku pasti mencari sesuatu, dan aku tidak merasa
hal itu dipenuhi oleh gaya hidup hura-huraku dengan alkohol dan pergaulan
bebas.”
Pada usia
19 tahun, Lynne memutuskan menjadi mualaf. “Sejak hari itu pula, aku memutuskan
mengenakan jilbab,” ujarnya. “Ini adalah tahun ke-12 rambut saya selalu
tertutup di depan umum. Di rumah, aku akan berpakaian pakaian Barat normal di
depan suami saya, tapi tidak untuk keluar rumah.”
Survei
YouGov baru-baru ini menyimpulkan bahwa lebih dari setengah masyarakat Inggris
percaya Islam adalah pengaruh negatif yang mendorong ekstremisme, penindasan
perempuan dan ketidaksetaraan. Namun statistik membuktikan konversi Islam
menunjukkan perkembangan yang signifikan. Islam adalah, setelah semua, agama
yang berkembang tercepat di dunia. “Bukti menunjukkan bahwa rasio perempuan
Barat mengkonversi untuk laki-laki bisa setinggi 2:1,” kata sosiolog Inggris,
Kevin Brice.
Selain
itu, katanya, umumnya perempuan mualaf ingin menampilkan tanda-tanda dari agama
baru mereka – khususnya jilbab – walaupun gadis Muslim yang dibesarkan dalam
tradisi Islam justru malah memilih tak berjilbab. “Mungkin sebagai akibat dari
tindakan ini, yang cenderung menarik perhatian, Muslim mualaflah yang sering
melaporkandiskriminasi terhadap mereka daripada mereka yang menjadi Muslimah
sejak lahir,” tambahnya.
Hal itu
diakui Backer. “Di Jerman, ada Islamophobia. Saya kehilangan pekerjaan saya
ketika saya bertobat. Ada kampanye untuk melawan saya dengan sindiran tentang
semua Muslim mendukung teroris – intinya saya difitnah. Sekarang, saya
presenter di NBC Eropa,” ujarnya.
Hal itu
diamini Lyne. “Aku menyebut diriku seorang Muslim Eropa, yang berbeda dengan
mereka yang menjadi Muslim sejak lahir. Sebagai seorang Muslim Eropa, saya mempertanyakan
segala sesuatu – saya tidak menerima secara membabi-buta. Dan pada akhirnya
harus diakui, Islam adalah agama yang paling logis secara logika,” ujarnya.
“Banyak
perempuan mualaf di Inggris juga mengkonversi agamanya karena tertarik dengan
kehangatan hubungan di antara sesama Muslim. “Beberapa tertarik untuk merasakan
kembali nilai-nilai yang telah mengikis di Barat,” kata Haifaa Jawad, dosen
senior di Universitas Birmingham, yang telah mempelajari fenomena konversi
agama. “Banyak orang, dari semua lapisan masyarakat, meratapi hilangnya tradisi
menghargai orang tua dan perempuan, misalnya. Ini adalah nilai-nilai yang
termuat dalam Quran, yang umat Islam harus hidup dengannya,” tambahnya Brice.
Nilai-nilai
seperti ini pula yang menarik Camilla Leyland, 32, seorang guru yoga yang
tinggal di Cornwall, pada Islam. Ia seorang ibu tunggal untuk anak, Inaya, dua
tahun. Ia mengaku menjadi Muslim pada pertengahan usia 20-an untuk ‘alasan
intelektual dan feminis’.
“Aku tahu
orang akan terkejut mendengar kata-kata ‘feminisme’ dan ‘Islam’ dalam napas
yang sama, namun pada kenyataannya, ajaran Alquran memberikan kesetaraan kepada
perempuan, dan pada saat agama itu lahir, ajaran pergi terhadap butir
masyarakat misoginis,” tambahnya.
Selama
ini, orang salah memandang Islam, katanya. “Islam dituduh menindas wanita,
namun yang aku rasakan ketika dewasa, justru aku merasa lebih tertindas oleh
masyarakat Barat.”
Tumbuh di
Southampton – ayahnya adalah direktur Institut Pendidikan Southampton dan
ibunya seorang ekonom – Camilla pertama kali bersinggungan dengan Islam di sekolah. Ia
mengenal Islam saat kuliah dan kemudian mengambil gelar master di bidang Studi
Timur Tengah. Ketika tinggal dan bekerja di Suriah, ia menemukan pencerahan
spiritual.
Merefleksikan
apa yang dia baca di Alquran, ia menyadari bahwa islamlah yang dicarinya selama
ini. “Orang-orang akan sulit untuk percaya bahwa seorang wanita yang
berpendidikan tinggi dari kelas menengah akan memilih untuk menjadi Muslim,”
katanya, menirukan komentar ayahnya saat itu. Namun ia mantap menjadi Muslimah.
Kini, ia
yang mengaku tak pernah meninggalkan shalat lima waktu tapi belum berjilbab ini
menyatakan dirinya telah “merdeka”. “Saya sangat bersyukur menemukan jalan
keluar bagi diri saya sendiri. Saya tidak lagi menjadi budak masyarakat yang
rusak.” (Siwi Tri Puji B/Daily Mail/RoL)