Dunia pendidikan adalah dunia
yang sangat dinamis, selalu bergerak, selalu terjadi perubahan dan pembaharuan. Sekolah seolah terus berpacu
memunculkan dan mengejar keunggulannya masing-masing. Memasuki Era Globalisasi menjadi satu tantangan tersendiri bagi
pengelola pendidikan untuk menyesuaikan kurikulum dan sarana pendidikan mereka
dengan berbagai teknologi canggih agar bisa menghasilkan siswa yang mampu
bersaing di Era ‘Global Village’.
Ditengah begitu semangatnya
berbagai lembaga pendidikan mengejar keunggulan teknologi, terbersit satu
pertanyaan, ‘sebesar itu jugakah semangat kita untuk mengejar keunggulan
karakter siswa-siswa kita?’
Mengapa Karakter?
Beberapa hadits berikut
menunjukkan betapa pentingnya sekolah-sekolah kita untuk memperhatikan masalah
pembentukan akhlak pada anak-anak didiknya:
“innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq”
Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia. (HR Malik)
“Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi.”
Sekolah adalah tempat yang
sangat strategis bahkan yang utama setelah keluarga untuk membentuk
akhlak/karakter siswa. Bahkan seharusnya setiap sekolah menjadikan kualitas
akhlak/ karakter sebagai salah satu Quality Assurance yang harus dimiliki oleh
setiap lulusan sekolahnya.
Tentunya kita semua berharap
siswa-siswi yang dididik di sekolah kita menjadi hamba Allah yang beriman,
sebagaimana pemerintah kita mencanangkan dalam Pasal 3 UU No. 20/2003, bahwa:
‘Pendidikan nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’. Dan sekarang resapilah hadits berikut:
“Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka.” (HR
Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Jika ternyata baiknya akhlak
menjadikan sempurnanya iman, maka tidak ada alasan bagi sekolah kita untuk
menomor duakan keseriusan dalam upaya pembentukan akhlak/karakter dibanding
keseriusan mengejar keunggulan teknologi. Bahkan yakinlah, bahwa jika anak didik kita
memiliki akhlak/karakter yang baik, insya Allah merekapun akan lebih mudah kita
pacu untuk mengejar prestasi lainnya.
Tak kurang, para peneliti, dan
tokoh kelas dunia pun dengan jelas ikut menyuarakan pentingmya masalah
pembentukan karakter ini:
Theodore Roosevelt, mantan
presiden USA yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in
morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek
kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada
masyarakat).
Mahatma Gandhi memperingatkan
tentang salah satu dari tujuh dosa fatal, yaitu “education without character” (pendidikan tanpa karakter)
Beberapa hasil penelitian dan
survey berikut mungkin akan membuat dahi kita berkerut:
90%
anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama
kalinya. Bahkan banyak diantara mereka yang membuka
situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah (Ketua Umum Badan Pengurus
Nasional Asosiasi Warung Internet Indonesia, Irwin Day. 25 Juli 2008. Media
Indonesia)
Herien Puspitasari (Disertasi
Doktor IPB), mempublikasikan hasil penelitiannya di Kompas Cyber Media
18/05/2006). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan pada tahun 2002-2003, dengan
menggunakan responden sejumlah 667 siswa (550 siswa Sekolah
Negeri & 117 siswa Sekolah Swasta), 540 putra dan 127 putri, semuanya
berasal dari siswa kelas 2 SMA dan SMK di Bogor. Mendapatkan hasil yang
mencengangkan: Dari 667 responden tersebut, tidak kurang 10 persen para
responden sudah melakukan hubungan seks bebas!
Jumlah pengguna narkoba di
lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak.
Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan
SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah
peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru
mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu
meningkat tajam menjadi 1.793 anak .
Tentunya masih banyak data dan
fakta lain yang bisa kita ungkap. Tapi data-data di atas cukup mewakili
bagaimana potret anak usia sekolah di negeri ini.
Menurut Thomas Lickona (1992),
tanda-tanda kehancuran suatu bangsa antara lain:
1. Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja
2. ketidak jujuran yang membudaya
3. semakin rendah rasa tidak hormat kepada kedua
orang tua, guru dan figur pemimpin,
4. meningkatnya kecurigaan dan kebencian
5. penggunaan bahasa yang memburuk
6. penurunan etos kerja
7. menurunnya rasa tanggung-jawab individu dan
warga negara
8. meningginya perilaku merusak diri
9. semakin kaburnya pedoman moral.
Jika kita cermati satu persatu
tanda-tanda kehancuran di atas, berapa point yang sudah muncul di bangsa kita?
Sepertinya kita sepakat bahwa seluruhnya sudah tampak di bangsa kita!
Akankah bangsa kita mengalami
kehancuran? Jawabannya adalah ‘YA’ bila bangsa kita tidak melakukan perbaikan. Dan kita para pengelola sekolah dan para pendidik harus ikut melakukan langkah perbaikan. Inilah peran strategis yang
harus kita ambil, MELAKUKAN PEMBINAAN AKHLAK UNTUK MENGHINDARKAN BANGSA DARI
KEHANCURAN!
Shintawati
Staf dept mutu JSIT Indonesia