Pembinaan diri pribadi (Tarbiyah Dzatiyah) adalah pembinaan
(tarbiyah) yang dilakukan seorang muslim/muslimah terhadap dirinya
secara mandiri. Latar belakang yang menjadikan pentingnya pembinaan pribadi ini
adalah kenyataan bahwa tak selamanya seorang muslim berkesempatan belajar pada
seorang alim atau ustadz, bahkan terkadang ada suatu saat dimana seorang muslim
berada pada lingkungan yang buruk.
Seorang muslim/muslimah
sudah seharusnya mejadi pemimpin pertama bagi dirinya sendiri. Dan untuk
menjalankan pembinaan pribadi ini,diperlukan kesungguhan. Tidak ada
alasan bagi seseorang untuk menjadi buruk karena tidak memiliki guru, karena
guru itu sangat banyak macamnya, tak hanya sosok manusia yang hadir di depan
kita memberikan uraian panjang lebar suatu materi. Terlebih lagi bagi
muslimah, ia memiliki banyak keterbatasan dibandingkan laki-laki. Fitrah dan
tugas utama seorang muslimah secara umum di rumah. Mereka akan menikah,
memiliki suami dan anak-anak sebagai amanah Allah kepadanya. Dan untuk
menunaikannya ia harus lebih banyak di rumah.
Para sahabat/sahabiyah
sangat rajin membina diri mereka sendiri. Mereka tiada henti-hentinya mencari
ilmu, mengembangkan potensi dirinya, mendiskusikan ayat-ayat Allah, hatta
Aisyah sekalipun. Padahal mereka tidak memiliki wadah formal semacam sekolah
atau pesantren. Untuk itu tidaklah heran bila mereka berhasil menjadi
manusia-manusia pilihan sebagai generasi militan.
Ada banyak bidang sasaran
daripada Tarbiyah Dzatiyah ini, yang dapat
diklasifikasikan dalam beberapa bidang seperti bidang keimanan, penyucian jiwa
(Tazkiyah Nufus),Kesehatan, intelektual, akhlaq, management,
kreativitas, dan sebagainya.
Tarbiyah keimanan dapat
berupa pendalaman kembali akan eksistensi Allah sebagai satu-satunya Ilah, pemberi rizki, pembuat
hukum, penentu gerak alam semesta, kemudian memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam dan isinya), tadabbur
alam, dan sebagainya.
Tarbiyah bidang penyucian
jiwa dapat dilakukan dengan memperbanyak tilawah al-quran, sholat lail, puasa
sunnah, beramal dengan harta, serta menjauhi penyakit-penyakit hati semacam
riya, takabbur, ghibah, ujub dan sebagainya.
Tarbiyah kesehatan, dapat
dilakukan dengan banyak membaca buku-buku kesehatan, berolah raga secara
teratur, memeriksakan diri ke dokter bila sakit, menjauhi sumber-sumber
timbulnya penyakit, dan selalu berdo’a sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah :”Ya Allah, sehatkanlah badanku, sehatkanlah pendengaranku,
sehatkanlah penglihatanku”.
Tarbiyah akhlaq dapat
dilakukan dengan membaca sejarah para nabi, para sahabat dan orang-orang shalih
sebelum kita agar akhlaq kita selalu terilhami dari akhlaq
mereka , selalu
introspeksi diri (muhasabah), menjauhi bergaul dengan teman yang
berakhlak tercela, dan sebagainya.
Dalam tarbiyah bidang
manajemen dan kretifitas, seorang muslim adalah manajer yang handal, dia harus
belajar untuk disiplin, banyak membaca, menambah ketrampilan, membuang sikap
malas, pesimis, dan kehilangan etos kerja. Abu hanifah pernah berkata kepada
Abu Yusuf, muridnya : “Kebodohan
itu bisa diusir dengan terus menerus belajar, Jauhilah sifat malas, sebab malas
itu sumber keburukan dan kerusakan yang amat besar” (Ta’lim Muta’alim,
hal 42)
Sesungguhnya tarbiyah
Dzatiyah tidak terpaku pada satu cara saja seperti membaca saja misalnya, akan
tetapi dapat kita lakukan dalam beberapa cara. Berikut ini beberapa bentuk cara
dan sarana yang dapat kita lakukan sebagai upaya pembinaan diri.
1. Mengajar.
Mengajar dapat melatih diri
kita sebagai murabbi (pendidik). Murid dapat kita cari
kalau ada kemauan, misalnya saudara, anak-anak tetangga, pembantu rumah tangga
di komplek-komplek perumahan yang belum dapat membaca al-Quran dengan baik,
Lebih baik lagi jika dapat mengajar di masjid disamping untuk memakmurkan
masjid.
2. Silaturrahmi.
Silaturrahmi merupakan
anjuran yang disyariatkan Allah secara langsung al-Quran, dengan silaturrahmi
kita membuka banyak kesempatan untuk mengajak mereka kejalan yang diridhai
Allah SWT. Berinteraksi dengan masyarakat banyak membuka peluang untuk beramal
shaleh, menunjukkan amal islami, memnabtu kesusahan orang lain, yang akan
mendidik kita untuk memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, dan kesabara.
3. Mengisi waktu luang di perjalanan.
Ada beberapa alternatif
pemanfaatan waktu luang di perjalanan :
1.
Mendengarkan kaset. Jika kita memiliki walkman, maka waktu diperjalanan dapat
kita manfaatkan untuk mendengarkan bacaan tartil al-Quran, ceramah, dan
sebagainya.
2. Dialog
dan diskusi, Ini jika kita bertemu dengan saudara sesama muslim yang dapat kita
ajak berdiskusi seputar problematika ummat Islam saat ini, atau mendiskusikan
apa saja asal tetap pada rambu-rambu dan etika berbicara dalam Islam.
3.
Membaca. Syekh Hasan al-Banna, seorang alim, semoga Allah
merahmatinya, banyak menghabiskan buku dan menulis di atas trem kereta api.
Sebaiknya ditentukan sebuah buku yang harus kita baca hanya jika dalam
kendaraan. Dengan demikian, perjalananpun memiliki nilai tambah dan tidak
menyebabkan kita terjerumus pada kelalaian.
4.
Tafakkur dan Tadabbur alam. Memperhatikan alam yang kita lewati,
keadaan orang-orang di sekitar kita, seraya mengamalkan hadits rasul SAW : “Perhatikanlah kepada siapa-siapa
yang ada di bawah kalian, dan janganlah memperhatikan yang ada di atas kalia,
karena hal itu lebih pantas supaya kamu dapat mensyukuri nikmat Allah”. (HR. Muttafaq alaih
dari Abu Hurairah)
Untuk
dapat menjalankan trabiyah dzatiyah ini, mutlak diperlukan kesungguhan, kemauan (azzam) yang kuat, jadwal yang rapi lagi
berusaha ditaati sendiri, dan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Untuk itu
hendaklah kita senantiasa berdo’a agar dihindarkan dari kelemahan dan kemalasan
sebagaimana do’a yang selalu dipanjatkan Rasulullah SAW : “Ya Allah sesungguhnya
aku berlindung kepada-Mu dari ‘ajzi (kelemahan), kasali(kemalasan), jubni (sempit hati), bukhli (pelit), ghalabatid daini (terlilit
hutang), Qahrir
rijal (dikuasai
musuh)”. Wallahu A’lam Bish Shawab.
Sumber:IkadiJatim